Cussons Bintang Kecil season 3 di Kota Kasablanka

Pada hari Minggu tanggal 8 Maret 2015 (again, another very late post), Nayla diminta untuk mengisi acara Cussons Bintang Kecil season 3 di Mal Kota Kasablanka. Yang sangat membanggakan adalah kali ini Nayla harus menyanyi seorang diri di atas panggung di tengah atrium mal. Berikut foto-foto dan video penampilan Nayla saat menyanyikan lagu “Apuse”.

IMG-20150308-WA0019IMG-20150308-WA0023

HUT Bina Vokalia ke-24 di Galeri Indonesia Kaya

Setelah beberapa lama les vokal di Bina Vokalia, Nayla diajak untuk berpartisipasi dalam acara perayaan HUT Bina Vokalia yang ke-24 pada hari Kamis tanggal 11 Desember 2014 di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia Shopping Town. Bersama teman-temannya di Mini B, Nayla membawakan tema Papua dan menyanyikan 3 (tiga) buah lagu, yaitu Yamko Rambe Yamko, Apuse, dan Sajojo.

Ini foto-foto Nayla dan teman-temannya di atas panggung:
1419164604754 IMG-20141211-02002 IMG-20141211-02003 IMG-20141211-02004 IMG-20141211-02005 IMG-20141211-02006 1419164590183

Lomba Mewarnai

Pada bulan Agustus tahun 2014 yang lalu, Nayla mengikuti lomba mewarnai di kantorku. Nayla masuk kelompok A (usia 4-6 tahun). Ini hasilnya:
1419164578169

Hasilnya menurutku cukup bagus, bahkan relatif lebih bagus dibandingkan karya peserta lain (*susahpayahberusahaobyektif*). Gue bilang ke Nayla, “Nayla mewarnainya sudah bagus…, tapi mama gak tau bisa menang atau gak.” Akhirnya pada hari Senin, 8 September 2014 diumumkan bahwa Nayla memenangkan Juara 1 Kelompok A. Alhamdulillah….. Hari Jumat, 12 September 2014 hadiah boleh diambil dan Nayla mendapatkan piala, piagam penghargaan, dan uang tunai sebesar Rp750.000. Ini Nayla bersama hadiahnya:
1419164574240

Menjadi juara adalah sesuatu yang sangat membanggakan, tapi buat gue jauh lebih membanggakan melihat reaksi Nayla ketika gue mengajarkan untuk berbagi dengan saudara-saudaranya yang membutuhkan. Mungkin karena sebelumnya pernah melihat berita mengenai anak-anak Palestina di TV, Nayla pun tergugah untuk menyumbangkan sebagian hadiah uang yang diterimanya ke anak-anak Palestina, dan yang membuat gue lebih terharu adalah Nayla menyisihkan Rp400.000 dari total Rp750.000 yang dimilikinya untuk disumbangkan! Masya Allah… Dan tanggal 15 September 2014, segera gue tunaikan amanah dari Nayla untuk anak-anak di Palestina. Semoga berkah ya, Nay…

Dan uang sisanya pun langsung dibelanjakan di Gramedia. Dengan bangganya Nayla berjalan ke kasir untuk membayar sendiri buku yang dibelinya dengan uangnya sendiri.
IMG-20140914-01909 IMG-20140914-01910 IMG-20140914-01911

Tari Ayam

Another video jadul…

Hari Sabtu, 22 November 2014, Nayla dan beberapa temannya mewakili Saraswati Preschool untuk mengikuti lomba tari di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Dapat bisik-bisik dari Bu Rina, guru tarinya, Nayla diposisikan di depan dan tengah karena gerakannya paling “beres”, sekaligus yang mengenakan nomor undian. Jelas bangga donk, ternyata anak gue boleh juga nich menarinya, beda banget sama mamanya, yang meskipun badannya termasuk kecil tapi sering diposisikan di belakang karena gerakannya paling “berantakan”, hehehe…

Tapi ada sedikit kekesalan gue sama pihak sekolah, dan ini pertama kalinya gue kecewa sama Saraswati Preschool, pengaturan dari pihak sekolah sangat berantakan, gak well-managed, jadi sangat tidak efisien dan membuat anak-anak tidak nyaman. Dimulai dari keberangkatan, kumpul di sekolah pagi-pagi sekali, belum memakai make-up dan kostum. Katanya sich kostum dibawa oleh Bu Rina, dan nanti janjian ketemuan di TMII aja. Dari awal gue bilang, gue dah sekian tahun lamanya gak ke TMII, gue gak pernah nyetir sendiri ke TMII, dan gue gak tau jalan menuju ke TMII. Jadi gue minta, ada yang jadi navigator gue di mobil, dan ditunjuklah Kak Tri (guru TK). Gue pikir bahasa gue dah cukup jelas ya, dan gue dikasi orang yang benar-benar mengerti jalan, ternyata I’m totally wrong! Kak Tri gak terlalu tau jalan, bahkan keluarnya di pintu tol mana aja gak tau. Untung kali ini insting gue benar (biasanya sich salah), dan alhamdulillah kita keluar di pintu tol yang benar. Tapi ternyata Kak Tri pun gak tau, mesti masuk dari pintu yang mana, jadilah sempat sekali salah jalan sebelum akhirnya menemukan jalan yang benar.

Setelah semua anak Saraswati berkumpul, gue mulai gelisah melihat Kak Ros (petugas administrasi sekolah) bolak-balik mencoba menelpon Bu Rina, dan belum berhasil ketemu juga, padahal kostum dibawa oleh Bu Rina. Gue mulai gagal paham, ini gimana sich sebenernya ngaturnya??? Setelah beberapa jam, dan beberapa anak sudah mulai bermandi keringat karena panas, akhirnya Bu Rina berhasil menemukan kami. Setelah itu, orang tua dan guru bersama-sama memakaikan kostum dan make-up untuk anak-anak. Satu hal yang paling gue gak setuju di sini adalah lokasi ganti kostum di ruang terbuka. Mungkin karena dipikir masih anak-anak, gak bakal malu kalo ganti baju di tempat terbuka! Suatu kesalahan besar, menurut gue! Sejak kecil, gue sudah ngajarin Nayla perkara “malu”, mana bagian tubuhnya yang tidak boleh dilihat orang lain, kecuali mamanya. Sungguh merusak konsep yang sudah gue tanamkan sejak dini! Untungnya gue menemukan papan tulis besar yang tidak terpakai, dan akhirnya gue gantikan baju Nayla di balik papan tulis itu. Selesai memakai kostum dan ber-make-up, Kak Ros bilang, “Ok…sudah siap ya, aku daftarin sekarang ya….”
“Whaaaatttt???!!!” Jam segini baru mau daftar? Mau jam berapa anak-anak tampil?
Gak tahan melihat kekacauan ini, gue pun protes ke Kak Ros, “Jadi anak-anak bakal tampil jam berapa nich kalo caranya begini???”
Dengan entengnya Kak Ros menjawab, “Ya kalo didaftarin dari tadi kan takutnya anak-anak ada yang telat, trus ntar kalo dipanggil kita belum siap ya WO, dll… Jadi ya nunggu semua siap dulu, baru daftar.”
Sambil menahan kesal, gue mengumpat dalam hati, “Tega bener sich sama anak-anak. Apa mereka gak bisa berpikir cara yang lebih manusiawi buat kenyamanan anak-anak?”

Akhirnya anak-anak baru tampil sekitar jam 1 siang (kalo gak salah inget), pastinya saat itu lagi panas-panasnya. Beberapa anak sudah mulai rewel karena kepanasan, bahkan ada yang nangis mungkin karena capek menunggu.

Ini penampilan anak-anak Saraswati Preschool membawakan tari ayam:


Dan mereka pun mendapatkan juara Harapan III, ini pialanya:
DSC_1095

2014 in review

Asisten statistik WordPress.com menyiapkan laporan tahunan 2014 untuk blog ini.

Berikut ini kutipannya:

Aula konser di Sydney Opera House menampung 2.700 orang. Blog ini telah dilihat sekitar 13.000 kali di 2014. Jika itu adalah konser di Sydney Opera House, dibutuhkan sekitar 5 penampilan terlaris bagi orang sebanyak itu untuk menontonnya.

Klik di sini untuk melihat laporan lengkap.

Mencari TK untuk Nayla

Setelah kehebohan mencari kelompok bermain untuk Nayla di posting sebelumnya, energi gue seakan terkuras dan belum sempet recovery hingga tiba saatnya kudu cari TK buat Nayla. Karena selama Nayla playgroup di TKAI gak ada keadaan yang mengharuskan dia bangun pagi, akhirnya gue pun lalai untuk melatih Nayla bangun pagi, ujug-ujug dah mau TK aja anak gue. Secara untuk TK-nya di TKAI tuh masuk sekitar jam 8 pagi, kudu berangkat jam berapa coba dari rumah gue, kayaknya less likely Nayla bakal lanjut TK di TKAI. Tapi teteup, karena dah jatuh cinta sama TKAI, dan kebetulan pula TKAI memberikan kesempatan kepada calon orang tua murid TK untuk observasi 1 hari di kelas, gue dan suami tetap mendaftarkan diri untuk ikut observasi kelas. Tujuannya sich cuma buat perbandingan aja kalo ntar kita cari TK lain, ya minimal standar TK yang acceptable ya kayak TKAI ini lah…

Berikut hasil survey gue:

Taman Kreativitas Anak Indonesia (TKAI)
Lokasi: Cipete dan Jagakarsa
Bahasa pengantar: Indonesia
Pemilik: Rose Mini (psikolog)
Kurikulum: active learning dan multiple intelligence
Untuk yang di Cipete, lokasinya gabung dengan kelompok bermainnya, jadi tetap dengan ciri khas TKAI: rumah pohon. Kelas TK ada di lantai 2. Begitu sampai di lokasi (agak telat, sich…) gue dan suami langsung diantar ke dalam kelas. Ternyata sudah ada ibu-ibu yang lagi observasi kelas juga. Duduk di bagian belakang, gue perhatiin anak-anak itu cukup tertib di kelas namun tetap semangat mengikuti kegiatan di kelas. Secara umum, materi pelajaran untuk hari itu sepertinya sudah tersusun rapi ya dan anak harus mengikuti susunan materi tersebut. Misalnya, sekarang lagi kegiatan menggambar trus ada anak yang gak suka menggambar tapi pengen kegiatan lain, bernyanyi misalnya. Ya gak bisa, nanti ada waktunya. Selain kegiatan di kelas, hari itu juga ada kegiatan outdoor yaitu main sepeda di halaman samping. Overall, gue suka dengan attitude anak-anak TKAI termasuk ibu-ibunya dan tentu saja guru-gurunya. Suasana kelas di TKAI ini more or less bakal gue jadiin benchmark buat cari TK untuk Nayla dengan lokasi yang lebih dekat dari rumah.

TK Komimo
Lokasi: Jl. Limau, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Bahasa pengantar: Indonesia
Pendiri: Kak Seto (lalu di-franchise-kan)
Sempat 2x mengunjungi TK Komimo ini, tapi gak dapet juga feel-nya. Penjelasan dari mbak administrasinya sich keliatannya menyenangkan, maksudnya metode pembelajarannya sich bagus, cuma ya itu tadi gue gak dapet feel-nya. Most likely karena attitude anak-anaknya. Terbiasa dengan anak-anak TKAI yang tertib dan behave, kok gue ngerasa anak-anak Komimo lebih acakadut, bahkan juga penampilannya. Entah kenapa, gue ngerasanya penampilan mereka lebih kucel alias berantakan. Dan yang lebih gue concern lagi adalah attitude-nya. Pas jam istirahat or snack time, mereka berhamburan ke ruang tengah, berlarian, tabrak-tabrakan, jatuh, menangis, dan gurunya terkesan lambat menangani. Yang menambah kekacauan juga adalah para pengantar (ortu maupun mbak/nanny) yang ikut masuk ke area dalam untuk menyuapi anak-anak itu. Kok bisa ya para pengantar ini sampai masuk ke area dalam (persis depan kelas)? Selain itu, infrastruktur sekolah juga terlihat berantakan dan kurang terawat. Kesimpulan: coret dari daftar calon TK untuk Nayla!

TK A Ba Ta
Lokasi: Srengseng, Jakarta Barat
Akhirnya sampai juga di TK yang berlokasi di Jakarta Barat. Liat website mereka sich cukup menarik ya http://abata.sch.id/, unfortunately pas dikunjungi ke lokasi (kebetulan pas hari Sabtu) langsung bikin gue ilfil, alias gak tertarik. Lingkungannya gersang, area bermain outdoor beralas paving block, dan secara umum infrastrukturnya berantakan (tidak terawat). Langsung gak minat buat datang kembali untuk bertanya-tanya. Jadi, mari kita coret…!

TK Bina Insan Mandiri
Lokasi: Perumahan Qaryah Thayyibah (PQT), Srengseng, Jakarta Barat
Datang di hari Sabtu, maksudnya memang mau melihat dulu infrastrukturnya. Kalau tertarik baru deh datang kembali buat bertanya-tanya. Secara umum, infrastrukturnya lebih baik dibandingkan dengan TK A Ba Ta, dalam artian lebih luas. Tapi kalo soal kebersihan dan keteraturan sich sama aja ancurnya, hehehe… Sempat bertemu dengan salah seorang siswanya (mungkin SD ya), dan bertanya, eeehhh malah tuh anak acuh cenderung melengos. Catet….ada attitude’s problem di sini, hehehe…!
Kesimpulan: coret lageeee….!

TK Saraswati
Lokasi: Jl. Pejuangan, Kb. Jeruk, Jakarta Barat
Bahasa pengantar: bilingual (alhamdulillah cuma judulnya doank sich, hehehe…)
Pemilik/Pendiri: Shoba Dewey Chugani
Kurikulum: montessori (ternyata….) dan creative curriculum
Akhirnya gue menemukan TK di dekat rumah, yang meskipun terlihat “kurang terawat”, namun penampilan luarnya mengingatkan pada beberapa sekolah di Jakarta Selatan, sebuah rumah sederhana (tidak bertingkat) dengan halaman yang cukup luas. Karena lokasinya yang dekat rumah, tentunya sekolah ini sudah ratusan kali dilewati, tetapi dulu tidak masuk dalam daftar sekolah incaran karena pada spanduk sekolah ini tertulis “bilingual school”. Namun karena tidak ada pilihan lain, gue mencoba mengeksplor lebih jauh mengenai sekolah ini, Saraswati Preschool. Berdasarkan informasi di http://saraswatipreschool.blogspot.com/, metode belajar di sekolah ini terlihat cukup fun, student-centered, banyak praktek dan field trip. Beberapa posting mereka ada yang in English maupun in Bahasa, tetapi tidak menjadi bahasa gado-gado ala “Cinta Laura” seperti kekhawatiran gue terhadap beberapa bilingual schools. Dari beberapa posting mereka pula (terutama yang berbahasa Inggris) bisa diambil kesimpulan sementara bahwa kompetensi bahasa Inggris sekolah ini cukup baik, sekilas tidak terlihat “kecelakaan berbahasa Inggris” yang konyol. Ya, kalaupun Nayla harus belajar bahasa Inggris sebelum usia 6 tahun, gue berharap dia belajar pada orang yang tepat (kompeten). Kebetulan ada pengumuman bahwa mereka akan mengadakan open house sekaligus seminar ASI bekerja sama dengan AIMI pada hari Sabtu. Bukan acara seminarnya sich yang gue cari (secara anak gue dah mau 4 tahun hehehe), tapi dengan adanya acara di hari Sabtu itu berarti gue bisa berkunjung ke sekolah ini, liat2 dan tanya2, tanpa harus mengorbankan jatah cuti (*emak2perhitunganbgtyak*). Saat menghadiri open house Saraswati, gue ditemui oleh petugas administrasi, dan dijelaskan mengenai proses belajar di Saraswati. Mendengar penjelasannya, malah jadi kurang tertarik karena kesan yang timbul justru “academic minded”. Petugas administrasi tersebut sangat membanggakan muatan akademis dalam kurikulum mereka termasuk PR untuk anak-anak dan lulusannya yang berhasil diterima di SD Bhakti, salah satu SD swasta unggulan di Jakarta Barat yang terkenal sangat “academic minded” (tes tertulis untuk masuk SD Bhakti minimal 4 halaman). Karena merasa penjelasan tersebut tidak sejalan dengan penjelasan di blogspot mereka, akhirnya dengan sabar gue menunggu kesempatan berbicara dengan pemiliknya, Ibu Shoba Dewey Chugani. Alhamdulillah, penjelasan Ibu Shoba melegakan hati. Pada akhirnya gue malah sangat terharu dengan perjuangan Ibu Shoba yang masih mempertahankan idealismenya di tengah “kejamnya pasar pendidikan” di Jakarta Barat. Bahkan pernah dalam satu tahun ajaran mereka hanya memiliki 1 murid, but the school must go on… Ibu Shoba menjelaskan, “Saya juga maunya anak-anak lancar bahasa ibunya dulu, baru belajar bahasa asing. Ini jalan tengah yang harus saya ambil kalau mau tetap survive. Kalau saya mau komersil, saya buat sekolah ini full English, pasti lebih laku.” Jadi yang dimaksud bilingual di sini ternyata bukan setiap hari bilingual ala bahasa “gado-gado”, tetapi ada khusus 1 hari dalam seminggu, Ibu Shoba terjun langsung mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak. Rasanya ini lebih realistis karena memang hanya Ibu Shoba yang terlihat cukup kompeten sebagai guru bahasa Inggris di Saraswati, daripada memaksakan guru-guru dengan kompetensi bahasa Inggris yang hanya sekedar bisa bilang “sit down, please”, “open your book”, and so on… seperti di beberapa sekolah lain yang berani menyatakan diri sebagai sekolah bilingual atau bahkan full English. Lalu masalah PR untuk anak-anak, sifatnya sangat customized, artinya sesuai keinginan orang tua. Jadi Saraswati ini sangat menyadari bahwa sebagian besar SD di Jakarta Barat mensyaratkan tes calistung untuk calon muridnya. Jadi jika Saraswati bertahan tidak mengajarkan calistung kepada murid-muridnya maka risikonya pilihan SD untuk lulusan Saraswati akan lebih terbatas. Calistung baru dikenalkan di TK B dan dengan catatan melihat kesiapan anak. Pengajaran calistung lebih dalam (termasuk PR/latihan calistung) biasanya atas permintaan beberapa orang tua murid yang akan menyekolahkan anaknya di SD Bhakti setelah lulus dari Saraswati. Dan ternyata terbukti, tanpa PR dan latihan soal yang bersifat drilling pun, beberapa anak yang memang sudah siap menerima materi calistung sekitar usia TK B sudah mulai lancar membaca. Sekolah ini sendiri hanya memenuhi 60%-70% persyaratan, istilahnya ini mungkin yang terbaik di antara yang terburuk menurut kriteria gue. Pada saat awal (sebelum memasukkan Nayla), Bu Shoba tidak menjanjikan yang muluk2 bahwa Saraswati menerapkan metode montessori secara full. Dia hanya mengatakan bahwa beberapa pelajaran seperti matematika/berhitung diajarkan dengan konsep dan alat2 montessori. Makanya nama sekolahnya pun gak pake embel2 montessori. Bu Shoba ini punya sertifikasi resmi sebagai diploma montessori yang diakui secara internasional. Pas pertemuan awal tahun, dijelaskan kembali bahwa Saraswati ini menggunakan metode montessori, diperlihatkan juga bagaimana anak2 berkegiatan menggunakan aparatus montessori. Dalam hati gue mikir, “nich owner emang gak punya sense of business, kenapa gak ngiklan kalo dia pake metode montessori? Mungkin aja bisa lebih laku.” Ternyata alasannya karena meskipun Ibu Shoba ini certified montessori teacher, tetapi guru2nya belum dikasi pelatihan montessori yang intensif. Jadi dia gak berani mengiklankan diri sebagai montessori school. Gubraaaakksss deh. Sementara ada aja beberapa sekolah yang ngaku montessori tapi person yang certified malah gak terjun langsung mengajar, atau malah gak ada yang certified? Dan untuk lebih memastikan bahwa mereka berjalan di koridor Montessori yang benar, mereka meng-hire temporary (1 bulan) seorang guru montessori (WNI) yang sudah berpengalaman 7 tahun mengajar di US dan menjadi volunteer di beberapa negara, yang dulunya juga pernah mengajar di Saraswati. Dan sekarang mereka pun sudah berani taro title “montessori” di belakang nama Saraswati.  Metode montessori ini berfokus pada individu anak dan mengusahakan anak belajar bukan dari guru tapi dari lingkungannya dan pengalamannya sendiri (melakukan sendiri, memegang sendiri, dll.). Fungsi guru di sini hanya sebagai fasilitator. Masih ngambang ya? Pake contoh aja deh. Di sekolah menganut sistem mixed-aged group, artinya anak tidak dikelompokkan berdasarkan usia (jadi ada kelas PG, TK, dst.) tapi anak membaur di 1 ruangan namun pemberian assignment bisa berbeda-beda berdasarkan kemampuan individu masing-masing anak. Jadi guru punya catatan observasi HARIAN untuk MASING-MASING ANAK mengenai apa saja yang dilakukan anak, sudah sejauh mana kemampuan anak saat ditugaskan untuk melakukan suatu assignment. Di area practical life, diusahakan untuk menggunakan barang2 yang ada dalam kehidupan sehari-hari meskipun dalam ukuran yang disesuaikan dengan fisik anak2. Misalnya anak membawa 2 mangkok beling dengan sebuah nampan. Yupe yang dipake mangkok asli dari kaca, bukan plastik atau melamin. Risiko pecah? Tentu saja… Tapi mereka berpendapat dengan memberitau anak bahwa ini barang asli lho dari kaca, bisa pecah, kalo pecah berarti rusak gak bisa dipakai lagi dan pecahannya bisa berbahaya, anak akan lebih memiliki percaya diri dan bertanggung jawab daripada pake mangkok plastik yang mereka tau gak ada masalah kalo mangkoknya jatuh. Di atas nampan ada 2 mangkok berisi air, di mangkok kiri berisi 10 kelereng yang harus dipindahkan ke mangkok kanan. Anak diminta memindahkan 10 kelereng satu-persatu dari mangkok kiri ke mangkok kanan, menggunakan saringan air. Selanjutnya anak diminta membersihkan seluruh peralatan dengan lap, membersihkan tetesan air, dan mengembalikan semuanya ke posisi semula hingga siap digunakan oleh temannya. Apa maknanya? 10 kelereng dipindahkan satu-persatu (bukan sekaligus) untuk mengajarkan berhitung 1-10. Memindahkan dari kiri ke kanan, mengajarkan gerakan menulis dari kiri ke kanan. Pekerjaan lain misalnya, menyusun tower. Ada 10 kubus (semuanya dalam 1 warna) dengan ukuran 1 cm3 s.d. 10 cm3 yang sudah disusun menjadi tower di salah satu sudut ruangan. Anak diminta memindahkan kubus2 tersebut satu-persatu dimulai dari susunan tower paling atas (kubus 1 cm3) ke sudut ruangan yang lain, dan kemudian menyusunnya menjadi tower. Saat memindahkannya pun, anak harus memegang setiap kubus dengan 2 tangannya meskipun untuk kubus yang terkecil sekalipun. Kenapa harus dipindahkan dari sudut ruangan yang satu ke sudut ruangan yang lain (jaraknya cukup jauh)? Ini untuk melatih motorik kasar anak. Kenapa harus satu-persatu? Dan kenapa setiap kubus bahkan yang terkecil pun harus dipegang dengan 2 tangan? Selain untuk mengajarkan berhitung 1-10, memegang dengan 2 tangan akan membentuk persepsi ukuran di otak anak dari ukuran terkecil (1 cm3) sampai ukuran terbesar (10 cm3). Lah kalo megangnya sekaligus 2, persepsi mengenai perbedaan ukuran gak akan terbentuk donk. Terakhir, kenapa 1 warna untuk 10 kubus? Ini untuk membantu konsentrasi anak agar fokus mengenali perbedaan ukuran dan bukannya fokus pada perbedaan warna. Ketika anak menyusun tower, dan melakukan kesalahan, misalnya kubus yang lebih kecil menjadi fondasi dari kubus yang lebih besar, guru tidak perlu bilang SALAH. Kenapa? Karena tanpa perlu dibilang salah pun, anak akan tau bahwa itu salah karena tower akan jatuh (tidak tersusun sempurna). Jadi membiarkan anak belajar dari kesalahannya sendiri.
Kesimpulan: Nayla masuk TK Saraswati, dan alhamdulillah anaknya senang banget, sampai susah disuruh pulang dari sekolah.

4
P1030220

P1030507P1040163

P1030137

Mencari Kelompok Bermain untuk Nayla

Sebenarnya tulisan ini basi banget kalo dilihat dari sisi tanggal/saat kejadiannya, tapi Insya Allah gak akan pernah basi jika dilihat dari sisi manfaatnya buat para orang tua yang sedang mencari sekolah terbaik untuk anaknya.

Nayla lahir pada bulan Juni tahun 2009. Bulan yang pas banget kata sebagian besar orang karena tahun ajaran baru (sekolah) dimulai pada bulan Juli, jadi gak mungkin Nayla ditolak masuk suatu sekolah karena alasan umurnya kurang dan gak bakal jadi terlalu tua juga karena hanya selisih (lebih tua) 1 bulan dari yang disyaratkan (bulan Juli). Tapi kalo menurut gue sich, umur segitu terlalu pas2an ditinjau dari sisi kematangan psikologis anak terutama saat memasuki jenjang sekolah formal yang pertama, yaitu Sekolah Dasar (SD). Apalagi setelah gue sadar ternyata SD jaman sekarang dimulai dari anak umur 6 tahun bukan 7 tahun kayak jaman gue dulu. Jadi pas masuk SD nanti umur Nayla bakalan baru 6 tahun 1 bulan. Yaaa jadi dengan kondisi kayak gitu menurut gue sich akan lebih ideal kalo anak lahir sekitar bulan Februari – April. Hitung2n ala gue ini sempat menjadi target buat anak kedua nanti, sebelum akhirnya gue pasrah karena sampai sekarang belum diamanahi juga anak kedua, hehehe…

Usia kelompok bermain (playgroup) umumnya dimulai sejak usia 2 tahun. Saat usia segitu Nayla masih sering diajak Yang Ku jalan-jalan ke PAUD dekat rumah tapi tentu saja PAUD ini sama sekali gak masuk dalam daftar sekolah incaran buat Nayla. Saat itu gue dan suami memutuskan untuk menunda sekolah Nayla hingga umur 3 tahun. Alasan utama kita tidak menyekolahkan Nayla saat baru berumur 2 tahun adalah karena gue merasa fondasi pola makan Nayla belum cukup kuat. Yup, gue dan suami sangat ketat menerapkan aturan pola makan sehat buat Nayla, mulai dari lahir gak pernah kenal susu formula (sufor) dan hanya sedikit terekspos susu sapi, itupun nyaris gak pernah dalam bentuk susu cair tapi hanya dalam bentuk campuran makanan seperti keju, puding, es krim yang gue tetapkan hanya sebagai makanan rekreasional, artinya cukup dimakan sesekali saja. Semua kebutuhan susu Nayla hingga usia 2 tahun hanya dipenuhi oleh ASI, baik secara langsung maupun melalui ASI perah. Asupan makanan padatnya pun fokus pada makanan alami seperti buah dan sayur, yang tentunya sama sekali tidak memerlukan proses pemasakan. Jadilah Nayla sering membuat takjub banyak orang karena dengan asyiknya bisa menikmati segala macam buah (bahkan yang rasanya asam sekalipun) dan lalapan/sayuran mentah (selada, timun, tomat). Untuk nasi, lidah Nayla pun sudah sangat bisa menerima nasi merah yang buat sebagian besar pecinta nasi putih tentunya terasa kurang enak. Protein hewani gue berikan setiap hari secara bergantian antara ayam kampung, daging sapi, dan ikan. Masakan buat Nayla pun dimasak tanpa gula dan garam. Kebijakan no added sugar ini diterapkan untuk seisi rumah tanpa kecuali hingga saat ini. Sementara sejak Nayla berumur 3 tahun barulah masakannya dibubuhi sedikit garam, itu pun gue pilih garam murni (sea salt). Terakhir, tentu saja semua makanan pabrikan, termasuk instant food dan processed food (sosis, nugget, and so on) sama sekali tidak ada dalam daftar makanan Nayla maupun seisi rumah. Dengan aturan makan yang sangat rigid itu, rasanya sayang kan kalo 2 tahun pertama yang dipenuhi dengan makanan sehat harus hancur gegara pengaruh dari luar (teman-teman sekolah) yang belum tentu orang tuanya seketat gue urusan makanan anak. Usia 3 tahun, gue harapkan lidah Nayla sudah cukup “terdidik”, dalam arti sudah memiliki standar rasa enak yang Insya Allah sejalan dengan standar sehat. Jadi semoga ketika nanti Nayla membuka bekal snack-nya di sekolah, which is selalu buah-buahan, Nayla bisa sangat menikmatinya dan “cuek” dengan makanan teman2nya yang mungkin saja penuh gula, artificial colour and flavour, preservatives, dan segala jenis bahan kimia tambahan. Gue cukup optimis, karena beberapa kali gue kasi Nayla mencicipi kue tart (yang umumnya rasanya sangat manis) dan sukses dilepeh. Kata Nayla, “Gak enak, mama… manis banget!” Yes!!! Jadi sudah terbentuk persepsi bahwa rasa yang terlalu manis (banyak gula) adalah TIDAK ENAK.

Merasa cukup mantap dengan fondasi pendidikan untuk “lidah” Nayla, sekarang saatnya mencari KB/PG buat Nayla! Secara umum, tujuan kita menyekolahkan Nayla adalah untuk bersosialisasi dengan anak-anak yang seumuran, salah satunya juga untuk belajar berbagi. Dengan tujuan tersebut maka kriteria KB/PG buat Nayla adalah sebagai berikut:
– Menggunakan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa pengantar.
– Tidak mengajarkan baca, tulis, hitung (calistung).
– Guru-gurunya memiliki passion yang tinggi terhadap anak-anak.
– Kurikulumnya jelas (gak bongkar pasang), fokus pada pengembangan motorik kasar dan halus, kemampuan sosial dan bahasa, membimbing kebiasaan-kebiasaan yang baik (cuci tangan, antri, dll.), serta tidak semata-mata fokus pada unsur kognitif/akademis.
– Evaluasi penilaian anak lebih pada proses daripada hasil.
– Fasilitas dan infrastruktur memadai dan aman (ramah anak).
– Dan yang paling penting, Nayla suka dan nyaman dengan lingkungan sekolah tersebut.

Berikut KB/PG yang gue survei:

An-Nahl
Lokasi: Kebun Jeruk, Jakarta Barat (hanya 5 menit jalan kaki dari rumah)
Bahasa pengantar: Indonesia (1x seminggu ada pelajaran bahasa Inggris)
Kurikulum: DikNas dan Islam, sistem sentra dan moving class
Kualifikasi guru: S1
Gue bertemu dengan Bu Iin (kepala sekolah, dan mungkin juga sekaligus owner) dan Ms. Marya (guru bahasa Inggris). Bu Iin looks smart, punya passion sama anak-anak, dan pastinya bisa memuaskan hampir semua pertanyaan gue. Ms . Marya juga memberikan penjelasan ke gue dengan lumayan ok.
Calistung: sebatas pengenalan angka dan huruf
Umur minimum: 3 tahun
Infrastruktur: sangat minim, masih menumpang di tanah wakaf masyarakat Aceh sehingga sulit untuk mewujudkan lingkungan bebas asap rokok, area bermain outdoor sempit dan beralas beton (keras dan tidak aman jika anak jatuh). Nyaris tidak ada tanaman di lingkungan sekolahnya. Bahkan jaman suami gue masih kos di dekat lokasi An-Nahl (hanya berjarak beberapa rumah) setiap malam sering mendengar suara “bantingan” kartu dan taruhannya.

Bee Preschool
Lokasi: Pos Pengumben, Jakarta Barat
Bahasa pengantar: Inggris
Kurikulum: Montessori dan Singapore
Kualifikasi guru: S1
Umur minimum: 1 tahun
Pas di sini gue ditemui bagian administrasi atau marketing gitu deh. Pastinya si mbak-nya nyaris tidak bisa menjawab semua pertanyaan gue. Lah yang bisa dia jawab cuma masalah biaya, jadwal kelas, yang sebenarnya sich gak perlu dijelaskan karena sudah tercantum semua di brosur. O ya, di sini pembayarannya sangat fleksibel, bahkan mereka juga menerapkan pembayaran per kedatangan. Di jadwal kelas gue lihat ada kegiatan video showing setiap hari Jumat (bukan ada sich, memang cuma itu satu2nya kegiatan di hari Jumat). Trus gue tanya, jadi semua anak yang sekolah di sini, termasuk yang berusia < 2 tahun juga mengikuti kegiatan video showing setiap hari Jumat?
Dijawab dengan santai, “Iya Bu…”
Langsung aja gue nyamber, “Mbak tau gak, berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang mengadopsi rekomendasi American Academic of Paediatrics (AAP) tidak merekomendasikan nonton TV dan sejenisnya untuk anak berusia < 2 tahun terkait dengan kesehatan matanya dan bukan semata-mata karena acara TV-nya, bahkan meskipun jarak menonton telah diatur seideal mungkin.”
Si mbak cuma bengong dan hanya menjawab sekenanya, “Ya tapi di sini begitu, Bu…”
Sadar gue ngomong dengan orang yang salah, ya lebih baik gak dilanjutkan daripada jadinya debat kusir…
Infrastruktur: memadai dan aman, secara umum lingkungannya bersih dan nyaman termasuk toiletnya yang juga bersih dan didesain khusus sesuai ukuran tubuh anak-anak, dan ada kolam renang.

Lazuardi Cordova (Global Islamic School)
Lokasi: Jl. Meruya Selatan, Jakarta Barat (cabang), pusatnya di Cinere – Jakarta Selatan
Bahasa pengantar: Indonesia : Inggris (50 : 50)
Kurikulum: DikNas dan Islam
Kualifikasi guru: S1
Umur minimum: 2 tahun
Infrastruktur: biasa-biasa saja, nothing special, jadi menurut penilaian gue sich gak sebanding ya dengan harganya yang lumayan mahal. Tapi secara umum kebersihannya cukup terjaga, termasuk toiletnya juga bersih, meskipun memang desain-nya umum ya (tidak disesuaikan dengan ukuran tubuh anak kecil). O ya, memang gedung sekolahnya sebenernya adalah rumah biasa yang dijadikan sekolah. Salah satu concern gue adalah cukup banyaknya undakan/tangga (sekitar 2 atau 3 anak tangga => split level) yang menurut gue memperbesar risiko anak jatuh.

Jakarta Islamic School
Lokasi: Joglo, Jakarta Barat (cabang), pusatnya di Kalimalang – Jakarta Timur
Bahasa pengantar: Inggris
Kurikulum: DikNas dan Islam
Kurikulum agama Islamnya cukup banyak dan “berat” dibandingkan dengan beberapa sekolah Islam lain, dan tambahannya ada juga program hafal Qur’an. Tapi sayangnya gue kurang mendapat penjelasan mengenai bagaimana cara mereka mengajarkan implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam hal kebersihan, mereka mewajibkan setiap orang melepas alas kaki ketika menginjak koridor (lantai keramik) meskipun masih di luar ruang kelas, tapi di sisi lain gue lihat lantai koridornya pun gak terlalu bersih. Mendingan yang umum2 aja sich kalo kata gue. Namanya koridor kan berpotensi dilewati berbagai orang ya, gak cuma warga sekolah. Bisa tamu, tukang parkir, sopir yang jemput anak2, dll. Lah belum tentu mereka fully aware sama aturan lepas alas kaki di koridor itu. Sementara anak-anak kudu lepas alas kaki, akhirnya kaki atau kaos kaki (note: kalo pake kaos kaki jadinya malah licin, bahaya juga kan) anak-anak lah yang jadi kotor gak keruan. Menurut gue sich, ya yang sewajarnya aja lah, lepas alas kaki kalo masuk ruangan gitu… Lah kalo gini, kebayang gak sich kalo di koridor aja kudu lepas alas kaki, sementara mau ke toilet kan kudu lewat koridor, dan gue jamin 1.000% tuh toilet pasti bukan toilet kering (faktanya malah cukup jorok toiletnya, lah pihak sekolah aja gak rela menyediakan jet washer, adanya cuma gayung buat cebok, kebayang donk beceknya). Keluar dari toilet dengan kaki basah (karena toilet becek dan kotor), gak kebayang tuh joroknya lantai koridor… Dan sampai sekarang pun gue masih gagal paham relevansi antara lepas alas kaki dan nilai Islam karena sebagian besar sekolah Islam menerapkan aturan ini: lepas alas kaki hampir di seluruh area sekolah!
Kualifikasi guru: S1
Pas gue masuk ruang kelas playgroup sama Nayla, ada 2 guru yang sedang asyik makan kurma, hanya melihat sekilas tanpa menyapa Nayla. Hellloooo….! Where’s your passion, Mam?
Di halamannya pun anak-anak bermain/berkeliaran bebas nyaris tanpa pengawasan dari guru.
Umur minimum: 3 tahun
Infrastruktur: area bermain outdoor dicor beton (keras), risiko luka kalau anak jatuh. Mungkin karena mereka sadar bahwa area outdoor-nya kurang aman maka mereka melarang anak-anak playgroup main di luar (area outdoor). Jadi selama 2 jam belajar, anak playgroup hanya boleh berada di dalam ruang kelas dengan ventilasi yang kurang memadai.
Tidak ada peraturan tegas yang melarang guru menerima apapun dari orang tua murid supaya menjaga obyektivitas dan profesionalitas guru itu sendiri. Tapi lumayannya masih ada pengaturan sedemikian rupa dengan cara pemberian dari orang tua murid dikumpulkan trus di-pool di kepala sekolah sehingga dapat dibagi lebih merata kepada seluruh guru dan komponen sekolah lainnya. Tapi ya tetap sich gak menutup kemungkinan ada orang tua murid yang memberikan hadiah secara bilateral kepada guru tertentu dengan motif-motif tertentu pula.
Kesimpulan
Kurikulum acceptable, bahasa pengantar not acceptable, passion guru terhadap anak kurang, infrastruktur kurang.

Kepompong
Lokasi: Jl. Bangka Raya (Jakarta Selatan)
Bahasa pengantar: Indonesia
Kurikulum: prinsip dari the National Association for the Eduacation of Young Children (Washington DC, USA), filosofi dari Piaget, Erikson, dan Vygotsky. Kegiatan sekolah dimulai dengan bermain di halaman rumput selama 30 menit, bebas silakan pilih, ada ayunan, prosotan, melukis, bak pasir, dll. Dilanjutkan dengan kegiatan kelompok besar (20-25 anak), misalnya menyanyi. Lalu makan siang bersama, selanjutnya kegiatan kelompok kecil (4-5 anak per kelompok).
Calistung: tidak ada
Rasio guru:murid : 20-24 anak per kelas dengan 5 guru
Umur minimum: 2 tahun
Infrastruktur: area bermain outdoor sangat luas, beralas rumput, dan di sekitar permainan (ayunan, prosotan, dll.) dialasi pasir halus. Gue pernah baca bahwa alas pasir halus merupakan alas bermain yang paling aman in case anak jatuh. Anak tetap memakai sepatu di ruang kelas, dan ruang kelasnya sendiri cukup luas, tidak ber-AC (hanya kipas angin besar di langit-langit), namun dengan ventilasi cahaya dan sirkulasi udara yang cukup baik. Setiap tiang yang ada di dalam ruangan dilapisi busa, jadi kalo anak-anak berlari-larian dan kejedot tiang, relatif aman. Lingkungan sekolah (termasuk toilet) bersih, meskipun toilet anak cowok dan cewek tidak dipisah ya. Cukup terlihat bahwa anak diajari untuk mencintai kebersihan, terlihat dari banyaknya wastafel yang ada hampir di setiap sudut halaman maupun ruangan.
Berdasarkan ngobrol dengan kepala sekolahnya, di sini ada peraturan tegas yang melarang guru untuk menerima apapun dari orang tua murid. Bahkan pesta ultah anak pun diatur tidak boleh berlebihan, salah satunya dengan tidak boleh memberikan goodie bag.
Kesimpulan
Kurikulum, bahasa pengantar, infrastruktur OK. Passion guru terhadap anak-anak terlihat tinggi, Nayla terlihat nyaman bersama guru-gurunya. Kekurangannya lokasi jauh dari rumah gue (waktu tempuh 1 jam 20 menit).
Kebayoran Baru-20111119-00044

Al Bayan Islamic School
Lokasi: Joglo – Jakarta Barat (waktu tempu 1 jam 30 menit, ini sich karena macet berat)
Bahasa pengantar: Indonesia
Kurikulum: DikNas + Islam
Calistung: tidak (tapi ada pengenalan angka dan huruf)
Umur minimum: 3 tahun
Infrastruktur: area bermain outdoor tidak ada, tapi ada area bermain semi-outdoor yang cukup memadai (alas busa), ada kolam renang untuk SD, toilet kurang bersih (tapi ternyata waktu itu yang gue lihat adalah toilet umum yang bukan untuk anak2, menurut teman yang sempat menyekolahkan anaknya di sini, toilet untuk anak ada di dalam ruang kelas dan kondisinya cukup bersih). Kelas playgroup di bawah, TK di lantai 2, tinggi anak tangga kurang sesuai (terlalu tinggi) buat ukuran anak TK.
Kesimpulan
Kurikulum dan bahasa pengantar OK. Infrastruktur cukup, hanya kurang bersih.

Planet Kids Pre-school
Lokasi: depan Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng – Jakarta Pusat
Bahasa pengantar: Indonesia
Kurikulum: multiple intelligence (Howard Gardner) dengan penekanan pada budaya Indonesia (contoh: gamelan, angklung).
Calistung: tidak (tapi ada pengenalan angka dan huruf)
Rasio guru:murid : 20-24 anak per kelas dengan 5 guru
Umur minimum: 2 tahun
Infrastruktur: area bermain outdoor cukup, alas tanah (rumput belum tumbuh) + busa di bawah prosotan. Ruang kelas luas dan ber-AC. Anak pakai sepatu di halaman tanah, tanpa alas kaki di dalam kelas, dan pakai sandal jepit di halaman samping (tempat binatang peliharaan kayak mini zoo gitu deh). Lingkungan sekolah, termasuk toilet bersih, dan dipisahkan antara toilet untuk anak cowok dan anak cewek. Tersedia wastafel di hampir setiap sudut sekolah.
Ada anjuran yang melarang guru untuk menerima apapun dari orang tua murid. Dalam prakteknya, pemberian dari orang tua murid umumnya hanya berupa makanan (dibagi bersama), dan untuk yang bilateral hanya sejenis aksesoris (selendang, pashmina, and so on).
Kesimpulan
Kurikulum, bahasa pengantar, infrastruktur OK. Passion guru terhadap anak2 cukup baik. Nayla terlihat bisa berinteraksi dengan salah satu guru. Kekurangannya, sekolah ini hanya sampai jenjang playgroup, gak ada TK-nya, jadi PR lagi deh buat cari TK-nya…

TK Negeri Pembina Tingkat Nasional
Lokasi: Petukangan Utara – Jakarta Selatan (berbatasan dengan Jakarta Barat)
Bahasa pengantar: Indonesia
Kurikulum: DikNas, metode pengajarannya kelihatannya masih konvensional, di dalam ruang kelas ada 1 meja + kursi guru di depan kelas, persis kayak kelas zaman gue dulu sekolah.
Calistung: tidak (tapi ada pengenalan angka dan huruf)
Rasio guru:murid : 10-15 anak per kelas dengan 2 guru
Umur minimum: 3 tahun
Infrastruktur: area bermain outdoor cukup luas, alas rumput, ada kolam renang. Ruang kelas cukup luas dan ber-AC. Secara umum sangat lengkap, namun terlihat kurang terawat dan kurang bersih. Jumlah wastafel juga minim. Lokasi WC agak terpencil, jauh dari ruang kelas, persisnya di sebelah pantry tempat bapak2 pesuruh sekolah nongkrong. Langsung kebayang kejadian pelecehan seksual di JIS oleh petugas cleaning service yang salah satu faktor pendukungnya adalah lokasi toilet yang jauh dari ruang kelas dan tertutup.
Kesimpulan
Kurikulum dan bahasa pengantar OK. Infrastruktur lengkap tapi kurang bersih/terawat. Passion guru terhadap anak-anak rendah. Nayla coba tersenyum ke salah satu guru, eeehhh gurunya cuek. O iya, ada satu lagi, penampilan guru TK yang menemui kami, terlihat kurang bersih, mukanya berminyak, pokoknya overall kayaknya sich bukan tipe orang yang “bersihan” ya…

Taman Kreativitas Anak Indonesia (TKAI)
Lokasi: Cipete, Jakarta Selatan
Bahasa pengantar: Indonesia
Pemilik: psikolog Rose Mini
Kurikulum: active learning danmultiple intelligence
Calistung: tidak (tapi ada pengenalan angka dan huruf)
Umur minimum: 2 tahun
Infrastruktur: area bermain outdoor lumayan luas, beralas rumput, ada ayunan, prosotan, dan khas TKAI: rumah pohon. Kekurangannya ya agak2 becek aja sich kalo abis hujan. Ruang tengahnya cukup luas buat area bermain anak. Ada halaman samping yang biasanya dipakai untuk makan bersama, dan kalau waktunya berenang disulap menjadi kolam renang dengan kolam ukuran plastik yang cukup besar, bahkan untuk orang dewasa sekali pun. Dekorasi di sekolah ini sangat bervariasi, selalu berganti menyesuaikan dengan tema yang sedang diajarkan di sekolah, terlihat guru2nya kreatif banget bikin dekorasinya.
Soal passion guru terhadap anak2, jangan ditanya lagi. Jangankan guru2nya, sampai petugas administrasi pun mengenal seluruh murid di sekolah ini. Bahkan pas hari pertama sekolah, ada seorang anak yang nyaris sepanjang jam sekolah tidur di pelukan gurunya dan gurunya tetap santai, ceria, sama sekali gak maksa bangunin anak itu, dan tetap bisa bermain bersama anak2 lain. Wonder woman banget deh!
Kesimpulan
Bahasa pengantar, kurikulum, dan infrastruktur OK. Infrastruktur yang sederhana terlihat justru memicu guru2nya untuk lebih kreatif dalam memaksimalkan potensi sekolah.

Akhirnya gue memutuskan menyekolahkan Nayla di TKAI. Selain karena poin-poin positif di atas, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan gue. Pertama, soal jarak dan waktu tempuh yang lumayan jauh dan lama, gue siasati dengan mengambil kelas sesi siang yang dimulai sekitar pukul 10:30. Jadi Nayla bisa berangkat dari rumah sekitar jam 9 atau 9:15, gak terlalu rush juga di pagi hari. Kedua, sekolahnya cuma 3x seminggu dan ada pilihan hari Selasa, Kamis, Sabtu, jadi minimal setiap minggunya ada 1 hari yang gue bisa nganterin Nayla dan bisa lihat langsung perkembangan Nayla di sekolah.
Nich foto-foto Nayla selama di TKAI:
Kebon Jeruk-20120528-00394Sehari sebelum hari pertama sekolah, Nayla sudah siap dengan tas sekolahnya.

Cilandak-20130309-00959Main ayunan di halaman sekolah.

Cilandak-20130119-00882
Cilandak-20130119-00885Outbond cukup di halaman sekolah karena halamannya luas. Ini persiapan mau flying fox, naik ke rumah pohon dulu.

Cilandak-20130226-00941Pentas Seni

Promo Setengah Hati di Sate Khas Senayan Kebon Sirih

Hari Senin tanggal 6 Januari 2014 kemarin, 3 anak yang baru diangkat resmi jadi pegawai di kantor gue mau syukuran dengan nraktir makan teman-teman se-Tim di Sate Khas Senayan (Kebon Sirih). Menjelang jam istirahat makan siang, berangkatlah kita (sekitar 15 orang) dengan 3 mobil.

Sesampainya di restoran, pelayan langsung menghidangkan menu yang sudah dipesan sebelumnya. Sambil menunggu seluruh pesanan dihidangkan, gue dan beberapa teman sempat membaca promo yang tertulis di alas makan kami. Promonya untuk pembayaran menggunakan kartu kredit BCA, atas pesanan 2 menu sate akan mendapatkan ekstra 5 tusuk sate ayam. Saat itu kami berpikir urusan promo nanti saja pas pembayaran (karena kami juga gak sempat confirm terutama ke yang mau nraktir ntar pembayarannya mau pake apa).

Selesai makan, ada sedikit makanan sisa yang rasanya sayang kalo dibuang dan kami pun minta makanan tersebut dibungkus. Karena kami memesan 2 menu sate ayam dan 2 menu sate kambing dan kebetulan si Mia (salah satu yang nraktir) mau bayar pake KK BCA, maka kami menanyakan mengenai promo tersebut. Catet ya, kami lho yang menanyakan, bukan pelayannya yang menginformasikan. Padahal kan kalo di resto lain biasanya pas kita mau bayar, pelayannya yang aktif menginformasikan, “Bapak/Ibu ada kartu kredit Bank X? Kami lagi ada promo X% lho…” Lha ini, bukannya menginformasikan, pas kita tanya soal promo KK BCA, pelayannya malah ogah2an gitu jawabnya, “O iya, Bu…”
Mia: “Berarti kita dapat ekstra 10 tusuk sate ayam donk. Dibungkus aja ya, Mbak… Soalnya kita kan dah selesai makannya.”
Pelayan: “Gak bisa, Bu… Sate ekstra-nya harus dimakan di tempat!”
Ebuset…, ngerjain banget gak sich? Catet ya, gak ada sedikit pun informasi kalo sate ekstra tersebut gak boleh dibungkus dan kudu dimakan di tempat! Kalo memang gitu syarat dan ketentuannya, ya ngomong donk sejak awal kita mesen, bukan perut dah begah kekenyangan, masih ditodong suruh makan sate ekstra 10 tusuk lagi atau kalo gak bonusnya batal demi hukum. Asli ngerjain, kan?

Si mbak pelayan gak tau dia berhadapan dengan para auditor yang gak segampang itu dikerjain! Kami ambil tantangan itu, “Ya udah Mbak, sini keluarin sate ekstra-nya!” Trus sambil pasang muka masam, si mbak pelayan pun balik ke dapur. Trus kita kasak-kasuk deh, “Udah ntar kita makan 1 tusuk aja trus sisanya minta dibungkus…!”

Akhirnya datang juga tuh 10 tusuk sate ayam ekstra, dan perlahan tapi pasti kita pun berkolaborasi, berjuang bersama untuk menghabiskannya! Jelas jauh berkurang sich nikmatnya, lha perut kita dah pada begah kekenyangan. Mungkin karena merasa ditantangin sama nich promo kacrut jadinya malah bisa habis di tempat meskipun tetep maksa banget judulnya!

Jadi kesimpulannya, nich resto not recommended! Meskipun makanannya sebenernya cukup variatif dengan rasa yang cukup bisa diterima sebagian besar lidah Indonesia dan harga yang reasonable, tapi kalo niat banget ngerjain customer kayak gini, mending gak deh…